61 PRINSIP PRIBADI MUKMIN

Teladan kaum muslimin yang paling utama, pemilik akhlak dan kepribadian yang sempurna adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab {33}:21).

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban dalah shahih-nya dari Abdullah bin Amru, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Maukah aku khabarkan kepadamu tentang orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat tempat duduknya kepadaku pada hari kiamat nanti?” Beliau mengulangi perkataan ini sampai tiga kali. Para sahabat berkata, “Ya, kami mau Rasulullah.” Beliau saw kemudian menjawab, “Yaitu orang yang paling baik akhlaknya.”

Dengan demikian, seluruh muslim hendaknya meneladani seluruh perkataan, perbuatan, dan seluruh sirah Rasulullah saw, serta melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya agar mencapai kebahagiaan di akhirat. Di antara akhlak yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah :

1. Berakhlak baik (terpuji)

Akhlak yang baik merupakan cermin dari sifat dan kepribadian yang mulia serta terpuji. Akhlak yang baik adalah hikmah dari hati yang bersih, jauh dari penyakit hati di antaranya; iri, dengki, dendam, dan perbuatan dusta, serta menebar permusuhan di antara sesama manusia.

Diriwayatkan dari hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Umamah al-Bahili ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah penghulu sebuah istana di dasar surga bagi orang yang menghindari perseteruan sekali pun ia berada di pihak yang benar. (Penghulu) sebuah istana di tengah-tengah surga bagi siapa yang meninggalkan dusta sekali pun hanya untuk bercanda, dan (penghulu) sebuah istana di surga yang paling tinggi bagi orang yang berakhlak baik.”

Merupakan kewajiban seorang hamba Allah setelah menghiasi diri dengan akhlak yang baik (terpuji) pada situasi dan kondisi apa pun di dalam bergaul dengan masyarakat, dengan mencontoh Rasulullah saw, sebagai contoh yang terbaik bagi umat manusia. Hal yang demikian itu memerlukan latihan dan keistiqomahan.

2. Mencintai Allah dan rasul-Nya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah …” (QS. Al-Baqarah {2}:165).

Salah satu tanda orang yang beriman adalah mencintai Allah dan rasul-Nya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.”

Hamba yang mencintai Allah tentu mencintai al-Qur’an dan Nabi saw, yang menyampaikannya. Tanda cinta kepada Nabi adalah mencintai sunnah. Tanda cinta kepada sunnah adalah cinta kepada akhirat. Tanda cinta kepada akhirat adalah tidak suka kepada dunia dan hanya mau mengambilnya sebagai bekal menuju akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah {9}:24).

3. Mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah

Merupakan fitrah manusia untuk memiliki kecenderungan atau kecintaan, baik terhadap manusia yang lain maupun terhadap harta (duniawi). Namun, sebaik-baiknya cinta adalah mencintai karena Allah swt. Mencintai orang lain atau saudaranya karena Allah hanya lahir dari bersihnya hati dan akhlak yang baik. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Pada hari kiamat nanti, Allah akan berfirman, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, dimana tidak ada naungan selain naungan-Ku.”

Hanya dengan mencintai karena Allah-lah dapat terjalin suatu ikatan persaudaraan yang sejati, seperti yang pernah dicontohkan oelh Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat Belaiu saw. Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah dua orang itu saling mencintai karena Allah, melainkan orang yang paling cinta kepada Allah itu lebih kuat cintanya kepada saudaranya.”

Hamba yang telah sempurna imannya, jika dia mencintai adalah karena Allah, dan jika dia membenci maka hanya karena Allah pula. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menolak karena Allah, maka telah sempurnalah imannya.”

4. Ihsan

Ihsan adalah beribadah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah, dan yakin sepenuhnya bahwa ibadah yang kita kerjakan senantiasa di awasi oleh Allah swt. Dengan demikian, seorang hamba yang ihsan akan senantiasa merasa bersama Allah, merasa diawasi oleh-Nya sehingga takut untuk berbuat maksiat kepada-Nya, serta bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya.

Seorang hamba yang memiliki derajat ihsan, akan tampak dalam perbuatan maupun ucapan. Hanya orang-orang yang berakhlak baik yang telah mensucikan hati, menjaga lisan, dan perbuatan yang dapat mencapai derajat ihsan, baik di mata manusia maupun dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

5. Merasa malu kepada Allah

Rasa malu kepada Allah lahir dari kesucian jiwa dan perasaan selalu diawasi segala tindakannya oleh Allah swt. Maka, sejauh mana keimanan dan kedekatan seorang hamba yang shalih dengan Rabb-nya dapat diukur dari rasa malu dia kepada Allah. Karena itulah, rasa malu kepada Allah adalah sebagian dari iman.

Dalam hadits muttafaq ‘alaih disebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw pernah melewati salah seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya, disebabkan rasa malu saudaranya (yang berlebihan), lalu Rasulullah saw bersabda, “Biarkanlah dia, karena rasa malu itu merupakan bagian dari iman.”

6. Takut untuk bermaksiat kepada Allah ketika sendiri

Salah satu sifat dari orang yang beriman adalah sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Anfaal {8}:2-3).

Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesuatu yang engkau tidak ingin dilihat oleh orang lain, maka jangan juga engkau lakukan jika engkau sedang sendirian.”

Tanda-tanda takutnya orang yang beriman kepada Allah, apabila disebut nama Allah dan diingatkan dengan nama-Nya, maka bergetarlah hatinya dan bersegera untuk meninggalkan segala perbuatan yang mendatangkan siksa, serta mengerahkan segenap daya upaya untuk selalu melakukan ketaatan kepada-Nya.

Kejujuran seseorang akan rasa takutnya kepada Allah bisa diukur saat dalam keadaan sendiri, bukan saat berada di tengah-tengah manusia. Saat-saat sendiri inilah kebanyakan manusia, lebih sering melanggar larangan Allah. Boleh jadi hal tersebut disebabkan karena rasa malu dan takutnya kepada orang lain lebih besar dibandingkan kepada Allah atau hanya bermaksud riya’ dihadapan manusia. Allah swt berfirman, “….dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab {33}:37).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu hurairah bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Ada tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. (Satu di antaranya) : Seorang laki-laki yang diajak (berbuat zina) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan cantik wajahnya, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”

7. Selalu berpikir tentang kematian

Hikmah dari berpikir tentang kematian adalah memacu diri untuk memanfaatkan kesempatan hidup di jalan Allah swt. Mereka juga akan menjadi zuhud dengan dunia, tidak tamak terhadapnya dan ridha terhadap pemberian Allah swt.

Ibn ‘Umar ra berkata, “Suatu ketika aku datang kepada Nabi saw, dan mendapati Beliau sedang berada di tengah-tengah jama’ah yang jumlahnya sepuluh orang. Seseorang dari kalangan Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan pemurah, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu orang yang paling rajin mengingat mati dan yang paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang-orang yang paling cerdas, yang akan memperoleh kehormatan di dunia ini dan di akhirat kelak.”

Hamba Allah yang selalu berpikir dan mengingat kematian akan bersegera untuk beramal shalih dengan penuh kesungguhan dan memberikan yang terbaik dalam beribadah kepada-Nya sebagai bekal di akhirat, karena dia tahu, bahwa hidup di dunia sangatlah singkat, sedangkan akhirat adalah kekal. Mereka-lah hamba-hamba yang cerdas.

8. Bersikap bijak

Setiap mukmin mempu bersikap bijak dalam mengerjakan setiap amalan di dalam kehidupannya, maka segala tindakan maupun perkataannya akan mendatangkan hasil yang positif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kebijaksanaan lahir dari pertimbangan, merenungi peristiwa dengan seksama, kemudian mengambil pelajaran darinya, serta berhati-hati dan tidak terburu-buru di dalam mengungkap hakikat suatu perkara.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah {2}:269).

Kebijaksanaan-lah yang mampu menyelamatkan seseorang dari keterjerumusan menuju musibah, fitnah orang-orang fasik, yang diakibatkan dari kebodohan dan kecerobohan sehingga menimbulkan penyesalan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat {49}:6).

Dan dengan kebijaksanaan-lah (hikmah), manusia mampu menyeru orang lain untuk menuju kepada jalan Allah, sebagaimana firman-Nya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (QS. An-Nahl {16}:125).

9. Selalu menghendaki kebaikan dan berlomba-lomba (bersegera) untuk melaksanakannya

Seorang hamba yang shalih memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan dan mencintai kebaikan terhadap segala hal. Melalui amal kebaikan yang didasari ketaatan kepada Allah swt, seorang mukmin akan mendapatkan balasan berupa pahala di akhirat kelak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Israa’ {17}:19).

Hamba yang shalih akan bersungguh-sungguh dan bergegas untuk memperbanyak amal kebaikan, berlomba dalam kebaikan atas dasar ketaatan kepada Allah swt. Tidak hanya sampai disitu, dia akan berupaya mengajak orang-orang untuk banyak melakukan kebaikan, keshalihan dan ketakwaan. Allah swt berfirman, “Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthafifin {83}:26).

10. Amar makruf nahyi mungkar

Makruf adalah segala sifat dan perbuatan yang dikenal dan diterima oleh akal sehat atau nurani sebagai sesuatu yang baik dan sesuai dengan ajaran Allah. Amar makruf atau menyeru kepada yang makruf , merupakan kewajiban bagi setiap mukmin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Lukman {31):17).

Setiap kita menyeru atau mengajarkan kebaikan kepada seseorang lalu orang yang kita seru itu mengerjakannya, maka kita akan menerima pahala seperti pahala yang diperolehnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk Allah, maka baginya pahala seperti orang-orang yang mengikuti (petunjuk) itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Malik, Muslim dan Abu Dawud).

Mungkar adalah segala bentuk kegiatan maupun pekerjaan yang dibenci, yang menjauhkan seseorang dengan Allah. Setiap muslim diperintahkan untuk mencegah kemungkaran.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia belum mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Dan jika belum juga mampu, maka dengan hatinya. Yang ketiga ini merupakan bukti selamah-lemah iman.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).

11. Selalu berkasih saying dan hidup bersaudara

Seorang mukmin diperintahkan oleh Allah swt untuk mencintai sesamanya dan menguatkan ikatan persaudaraan karena setiap muslim pada hakikatnya adalah bersaudara. Persaudaraan akan melahirkan perasaan yang tulus dan jujur serta perasaan yang luhur di dalam jiwa. Dengan semangat persaudaraan inilah maka Islam akan menjadi kuat. Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak sesama muslim.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang muslim adalah saudara muslim lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, atau merendahkannya. Takwa itu ada di sini, (seraya menunjuk ke dadanya, dengan mengucapkannya tiga kali). Cukuplah seseorang itu dinilai jahat jika dia sampai merendahkan saudaranya. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram (suci/terlarang) darahnya, kehormatannya, maupun hartanya.”

12. Ridha terhadap segala pemberian Allah dan bersungguh-sungguh berusaha dengan mencari keridhaan Allah swt

Setiap perbuatan yang dilakukan muslim yang shalih hendaknya ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah swt, dan diniatkan untuk beribadah. Ia pun tidak akan bersantai-santai dan berpuas diri dalam usahanya, melainkan selalu ingin mendapatkan keadaan yang lebih baik. Segala usaha yang tidak ditujukan untuk menggapai keridhaan Allah maka bisa menggiring seseorang untuk melakukan usaha yang haram.

Keridhaan itu menunjukkan kuatnya iman seseorang kepada Allah, di samping menunjukkan kematangan akal dan kebijaksanaannya. Sifat ridha’ kepada Allah akan lahir dari kepasrahan seorang muslim akan segala sesuatu yang diputuskan-Nya serta hukum-hukum-Nya. Sedang hikmah dari sifat ridha’ kepada Allah adalah mendapatkan kenikmatan berupa ketenangan hati.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi.” (QS. Al-Haqqah {69}:21-22).

13. Selalu bersabar

Hamba yang shalih tidak akan mengingkari atau mengkufuri nikmat, serta tidak akan murka terhadap musibah yang menimpanya. Ketika ada nikmat, dia bersyukur, dan ketika ada musibah dia bersabar.

Hamba yang shalih selalu pasrah terhadap keputusan Allah, ridha dengan apa yang menjadi ketentuan-Nya, serta tidak murka terhadap apa yang telah digariskan oelh Allah atas dirinya. Ia akan bersabar di dalam melaksanakan ketaatan, bersabar (menahan diri) dari melakukan kemaksiatan, serta sabar (tabah) dalam menghadapi musibah, kesulitan, bencana, ujian dan segala hal yang tidak diinginkannya. Ia akan mengembalikan segalanya kepada Allah dengan menyatakan, bahwa kita semua ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka …” (QS. Al-Ahqaaf {46}:35).

Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib bin Sinan ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin itu, karena segala urusannya baik baginya, dan hal itu tidak mungkin terjadi pada seorang pun kecuali bagi orang mukmin. Jika mendapatkan kemudahan, dia bersyukur, dan bersyukur itu adalah yang tebaik baginya. Jika dia mendapatkan kesulitan, maka dia bersabar, dan bersabar itu adalah yang terbaik baginya.”

Dalam dua keadaan itu, dia selalu dimuliakan dan diberi pahala oelh Allah. Dengan kokohnya kesabaran, tidak ada amalan ibadah yang terasa sulit. Dengan demikian, seseorang akan terus naik derajatnya dari tingkat kesabaran menuju tingkat takut (khauf), kemudian naik lagi ke tingkat cinta (mahabbah).

14. Tawakal kepada Allah

Tawakal seorang hamba adalah memasrahkan segala urusannya kepada Allah, sehingga ia tidak akan pernah berharap dan meminta segala sesuatu dan berlindung, kecuali hanya kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya, “Berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi pelindung.” (QS. An-Nisa’ {4}:81).

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Akan masuk surga dan kalangan umatku tujuh puluh ribu orang, tanpa melalui hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk di ruqyah serta tidak menggantungkan nasib sial kepada burung, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.”

Dalam bertawakal kepada Allah, seseorang diharuskan untuk mengusahakan terlebih dahulu segala sesuatu yang diinginkan dengan sungguh-sungguh, mengerahkan segenap pikiran serta tenaganya. Karena tawakal itu bukanlah menafikan usaha dan hukum sebab-akibat yang rasional. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abbas, bahwa seorang Arab Badui meninggalkan untanya diluar masjid Nabawi lalu berkata, “Ya Rasulullah, apakah saya biarkan saja disini atau haruskah saya mengikatnya, baru kemudian bertawakal!?” Beliau menjawab, “Ikatlah, baru bertawakal!”

15. Selalu bertafakkur

Tafakkur sesungguhnya bagaikan sebuah cermin jernih yang bila kita pandang dengan seksama maka akan mampu menampakkan dengan jelas semua yang ada dihadapan kita. Di dalam tafakkur, terdapat pemahaman berdasarkan nalar yang sehat. Dengan bertafakkur-lah seseorang mampu mengambil pelajaran sehingga dapat berjalan di jalan yang benar dan mampu melihat tujuan dengan jelas.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb mereka.” (QS. Ar-Ruum {30}:8).

16. Pandai mengambil pelajaran

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barangsiapa yang bisa mengambil pelajaran, maka dia bisa melihat persoalan dengan jelas.”

Pelajaran adalah bukti atau petunjuk yang dapat membawa seseorang kepada pemahaman, hikmah, maupun ilmu serta mengantarkan seseorang kepada keyakinan. Allah swt berfirman, “Maka ambil-lah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr {59}:2).

17. Menjaga amanah

Sifat seorang mukmin adalah selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, sedangkan mengkhianati amanah merupakan bagian dari sifat kemunafikan. Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk mengkhianati amanah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfaal {8}:27).

18. Mementingkan orang lain (itsar)

Itsar yaitu lebih mendahulukan saudaranya daripada diri sendiri. Tidak ada yang berhias dengan akhlak yang mulia ini kecuali orang-orang yang memiliki hati yang besar dan semangat luhur sebagaimana yang ditunjukkan oleh kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan …” (QS. Al-Hasyr {59}:9).

Mereka adalah orang-orang pilihan. Sebab, untuk mewujudkan sikap ‘itsar’ ini diperlukan kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan kemurahan hati.

19. Selalu bertaubat

Salah satu karunia dan kasih saying Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya adalah dengan membuka pintu taubat yang seluas-luasnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran {3}:133).

Kita harus selalu sadar dan ingat bahwa kematian itu pasti akan datang sewaktu-waktu tanpa kita duga, sedangkan banyak sekali dosa yang kita lakukan selama hidup. Maka sudah seharusnya kita mempersiapkan kematian dengan selalu beristighfar, memohon ampun dan bertaubat dengan sebenar-benarnya kepada Allah tanpa menunda-nunda lagi.

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Manfaatkan lima hal sebelum datangnya lima hal; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematian.”

20. Selalu mengingat nikmat Allah

Mengingat nikmat Allah adalah kebiasaan hamba yang shalih, yang membawanya kepada rasa syukur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha {93}:11).

Allah swt juga berfirman ketika menceritakan tentang Nabi Sulaiman as, bahwa dia berkata, “Ya Rabbi, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu.” (QS. An-Naml {27};19).

21. Selalu bersyukur

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim {14}:7).

Di antara tanda syukur adalah mengakui bahwa segala nikmat hanya berasal dari Allah, dan tidak menggunakannya di jalan yang dilarang oleh Allah swt. Selain itu, tanda-tanda orang yang bersyukur adalah dia sangat berterima kasih serta menghargai peran orang-orang yang telah membantunya, dan tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia lainnya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Asy’ats bin Qais ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesunggunya manusia yang paling banyak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang paling banyak berterima kasih kepada sesama manusia.”

22. Mencintai amalan-amalan sunnah

Salah satu sifat dari orang-orang yang taat kepada Allah swt, adalah mencintai amalan-amalan sunnah. Bagi mereka, amalan sunnah adalah salah satu karunia Allah swt yang dilimpahkan kepada manusia, sebab dengan amalan sunnah ini manusia dapat menambah kedekatan kepada-Nya dan menambah kebajikan yang dilakukannya sehingga pahala yang diraihnya pun bertambah.

Salah satu ibadah sunnah yang senantiasa dipelihara oleh Nabi saw adalah shalat malam. Allah swt berfirman, “Pada sebagian malam hari, kerjakanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (QS. Al-Isra’ {17}:79).

23. Saling memberi nasihat dalam kebaikan

Sifat hamba yang shalih adalah mencintai kebaikan, dan menginginkan kebaikan bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga kepada saudara-saudarinya. Saling memberi nasihat dalam kebaikan adalah salah satu bukti kecintaan antara sesama muslim. Allah memerintahkan kepada manusia untuk saling memberi nasihat dalam kebaikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr {103}:1-3).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Salah seorang dari kalian tidak akan beriman (secara sempurna), sehingga dia mencintai kebaikan untuk orang lain seperti halnya dia mencintai kebaikan bagi dirinya sendiri.”

Nasihat yang diberikan hendaknya berupa kebaikan, yang mengajak manusia menuju jalan Allah swt, dan menyampaikannya harus dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga bisa diterima oleh orang lain tanpa menyakitinya.

Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, “Barangsiapa memberikan nasihat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka dia benar-benar menasihatinya dan menghiasi orang tersebut. Sebaliknya, jika dia menasehatinya secara terbuka, berarti dia telah membuka aibnya dan mencacatkannya.”

24. Bersikap lembut

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai kelembutan. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu ad-Darda’ ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa dianugerahi sifat lembut, maka dia telah dianugerahi kebaikan. Sedangkan orang yang tidak mendapatkannya berarti terhalang dari mendapatkan kebaikan.”

25. Selalu ceria dan bermuka manis

Wajah yang selalu ceria dan manis akan menyiratkan keramahan seseorang. Salah satu kunci untuk disukai dalam hidup bermasyarakat adalah sikap ramah. Seorang mukmin itu tidak bersikap kasar terhadap orang lain, apalagi terhadap saudara-saudarinya sendiri. Sekiranya seorang muslim bersikap kasar dan menampilkan wajah tidak ramah, maka sudah tentu dia akan dijauhi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku lembut kepada orang lain sehingga perilaku Beliau sangat disukai. Allah swt berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu …” (QS. Ali Imran {3}:159).

Tersenyum dengan tulus, menampakkan wajah manis adalah perbuatan makruf, yang dianjurkan oleh Islam, dan tidak boleh diremeh. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian meremehkan perkara makruf sekecil apapun, sekali pun hanya dengan menatap saudaramu dengan wajah senyum.”

26. Selalu saling membantu dan menolong

Saling menolong yang didasarkan pada kebajikan dan takwa akan menguatkan ikatan antara sesama manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah {5}:2).

27. Selalu tawadhu’ (rendah hati)

Tawadhu’ atau rendah hati adalah salah satu sifat muslim yang shalih yang terpelihara dari sifat sombong, sebesar apapun harta, ilmu, dan kejayaan di dunia yang dimilikinya. Sifat sombong merupakan penghalang bagi seseorang untuk memasuki surga-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati. Allah swt berfirman, “Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb yang Mahapenyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqaan {25}:63).

Imam Muslim dan lainnya meriwayatkan dari Iyadh bin Hammad, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang berbangga atas orang lain, dan tidak ada seseorang yang berbuat zhalim terhadap orang lain.”

28. Teguh dalam keimanan

Keteguhan berasal dari keimanan serta keyakinan yang mantap kepada Allah swt. Hamba yang teguh keimanannya dengan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw akan selalu konsisten untuk mempertahankan keyakinannya, serta tidak akan merasa ragu atau takut untuk memperjuangkannya.

Keteguhan adalah salah satu modal yang utama dalam berdakwah dan berjuang untuk menegakkan dienul Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (dienul) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad {47}:7),

“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfaal {8}:45).

29. Memiliki keyakinan

Sebab, hanya orang-orang yang yakin akan Allah subhanahu wa ta’ala yang mampu memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya. DIA Yang Mahasegalanya berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (QS. Al-baqarah {2}:118).

30. Selalu berbaik sangka (husnuzhon)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujuraat {49}:12)

Allah swt memerintahkan kita menjauhi prasangka yang buruk kepada sesame manusia serta menjadikan prasangka yang baik, sebagai dasar dalam berhubungan dengan sesama manusia. Berbaik sangka merupakan dasar untuk menumbuhkan hubungan baik dengan sesama manusia sedangkan berburuk sangka akan mendorong kedengkian dan permusuhan.

Namun begitu, kita TIDAK DI ANJURKAN untuk BERBAIK SANGKA kepada semua manusia SECARA MUTLAK. Adapun terhadap orang yang memusuhi dienul, maka tidak ada tempat untuk berbaik sangka kepada mereka. Sebab, berbaik sangka kepada mereka akan membuat kita menjadi tertipu dan mendatangkan kekalahan.

Seorang mukmin harus menjaga agar tidak jatuh ke dalam prasangka buruk orang lain. Karena itulah, kita tidak diperbolehkan meletakkan dirinya di dalam situasi maupun kondisi yang akan menyebabkan orang lain menjadi berburuk sangka.

31. Memudahkan persoalan

Sifat hamba yang shalih adalah mempermudah dan meringankan segala urusan yang positif, baik terhadap dirinya dan orang lain. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mudahkanlah dan jangan mempersulit. Gembirakanlah dan jangan buat orang lain lari.”

Memudahkan masalah dalam arti tidak membesar-besarkan masalah, menyelesaikan semua urusan secara logis dan dengan cara yang terbaik, serta dibenarkan menurut ajaran dienul Islam. Banyak hal-hal yang sangat penting menjadi terbuang sia-sia dengan mempersulit urusan yang sebenarnya mudah, di antaranya adalah waktu dan biaya.

Dengan mempersulit orang lain, berarti kita telah bersikap dzalim terhadapnya. Sedangkan Allah swt tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah {2}:286).

32. Wara’

Sifat wara’ menunjukkan ciri orang yang bertakwa. Wara’ adalah sifat menahan diri dan meninggalkan setiap yang masih diragukan apakah halal atau haram (syubhat), terlebih terhadap perkara diharamkan.

Dengan demikian, seorang yang wara’ akan penuh perhitungan, berhati-hati, dan waspada dalam setiap langkah hidupnya sehingga terlindung dari perbuatan-perbuatan syubhat dan juga amal yang tidak diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

33. Penyantun dan murah hati

Sifat penyantun merupakan akhlak yang agung, tinggi kedudukannya, serta terpuji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba, dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Huud {11}:75).

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sifat murah hati itu ada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah ia tercabut dari sesuatu melainkan ia akan menjadikannya buruk.”

34. Selalu menjaga lisan dan mengucapkan perkataan yang baik

Hamba Allah yang bersih hatinya, akan selalu menjaga lidahnya dari perkataan yang sia-sia apalagi kotor dan tercela seperti menggunjing (ghibah), memfitnah atau mangadu domba dan sebagainya. Sebagai umat Rasulullah saw, kita harus berhati-hati dan memperhitungkan lisan kita, karena bahaya yang ditimbulkan dari ketergelinciran lisan, yaitu neraka.

Dalam hadits riwayat Ahmad dan yang lainnya, dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan di hisab atas kata-kata yang kami ucapkan?” Nabi saw menjawab, “Ibumu kehilangan dirimu hai Mu’adz! Bukankah manusia tersungkur ke dalam Nuur di atas wajah-wajah mereka, melainkan akibat dari lisan mereka?”

Selain itu terdapat hadits lain, yang menjadi peringatan kepada kita untuk benar-benar menjaga lisan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki berbicara dalam suatu kalimat yang tiada dia sangka akan berakibat seperto itu. Allah menetapkan kemurahan-Nya atasnya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” (HR. Malik dan at-Tirmidzi).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (QS. Father {35}:10).

35. Khusyu’ dalam ibadah

Hamba yang shalih adalah seorang yang memiliki keimanan yang mendalam dan keyakinan yang kokoh. Khusyu’ adalah kunci kesuksesan dalam beribadah. Kekhusyu’an dalam beribadah, misalnya sholat, adalah salah satu kunci diterimanya shalat oleh Allah swt, dan meresapnya shalat ke dalam hati serta jiwa, sehingga terhindar dari perbuatan yang mungkar.

Allah subhanahu wa ta’al berfirman, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadiid {57}:16).

Al-Hakim meriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin mengerjakan wudhu secara sempurna, kemudian mengerjakan shalat dengan mengetahui apa yang diucapkannya, melainkan dia bangkit (selesai) dari shalatnya seperti ketika ibunya baru saja melahirkan.”

36. Manyayangi sesama

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’ {21}:107).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat bagi semesta alam. Beliau memiliki sifat penyayang dan memerintahkan kepada umatnya untuk menyayangi sesama. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi (sesama) maka dia tidak akan disayangi oleh Allah.”

Hamba yang shalih memiliki sifat yang penyayang baik terhadap kedua orangtua, kaum kerabat, anak yatim, dan terhadap sesama muslim maupun terhadap makhluk ciptaan Allah yang lain, seperti hewan. Ia pun tidak akan pernah berlaku zhalim terhadap yang lebih lemah, bahkan melindungi dan menyayangi mereka. Dengan sifat penyayangnya tersebut, dia akan mudah memaafkan.

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Carilah aku di kalangan kaum lemah (fakir miskin), karena sebenarnya kalian diberi rezeki dan mendapatkan pertolongan karena (berkah doa) kaum lemah itu!”

Dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan, “Dan barangsiapa yang tidak mau mengampuni (memaafkan), maka dia tidak akan diberi ampunan.”

37. Tidak suka memperlihatkan aib

Hamba yang shalih harus mempunyai kecenderungan untuk menyembunyikan apa yang semestinya disembunyikan, dan menjauhkan diri dari keinginan membuka aurat. Menampakkan aib dan membongkar kehormatan.

Sikap menutupi aib seperti ini akan menyebabkan seseorang untuk terbiasa menutupi rahasia-rahasianya dan menyembunyikan hal-hal pribadi, seperti menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan mimpi buruk yang dialaminya.

38. Memiliki kelurusan hati

Maksudnya adalah kejernihan dan kebersihan hati, kesehatannya, kekuatannya, kebersihannya, dan keterjagaannya dari segala penyakit. Hamba yang shalih adalah pemilik hati yang bersih dan murni, bersih dari segala noda syirik dan dosa.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara’ {26}:88-89).

Dalam hadits disebutkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika segumpal darah itu baik, maka menjadi baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka menjadi rusaklah seluruh jasad. Segumpal darah itu adalah hati.”

39. Memaafkan dan toleran terhadap orang lain

Hamba yang shalih adalah seorang yang suka memaafkan. Memberi maaf merupakan salah satu akhlak al-Qur’an. Dengan akhlak ini, seseorang berarti membersihkan dirinya sendiri, dan meningkatkan martabatnya di sisi Allah dan juga di mata sesama manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syu’ara’ {42}:40).

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiada sebuah doa yang diucapkan oleh seorang hamba yang lebih utama daripada doa. “Ya Allah, aku memohon maaf dan kesehatan kepada-Mu.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu pemaafan di dunia dan di akhirat.”

40. Selalu melakukan ketaatan

Mereka mengatakan, “Kami dengar kami taat (sami’na wa atho’na).” (Mereka berdoa) “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah {2}:285).

Ketaatan adalah selalu menunaikan kewajiban, dan melaksanakan segala perintah Allah dan perintah Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti keimanan dirinya kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) …” (QS. An-Nisa’ {4}:34).

41. Ketenangan hati

Ketenangan adalah akhlak para pemilik akal yang cerdas, ilmu yang kokoh, keimanan yang kuat, dzikir yang tulis, dan kebenaran yang hakiki. Yaitu ketenangan hati, tanpa adanya goncangan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d {13}:28).

Kunci ketenangan dan ketentraman hati adalah dzikrullah dengan cara selalu membaca kitab-Nya dan merenungi ayat-ayat-Nya.

42. Memiliki sifat cemburu

Seorang hamba yang shalih memiliki sifat cemburu terhadap dienul dan aqidahnya, terhadap kemuliaan dan kehormatan dirinya, serta terhadap nilai-nilai dan segala yang menjadikannya mulia. Merasa cemburu terhadap larangan-larangan atau batasan-batasan Allah jika sampai dilanggar oleh manusia, dan juga cemburu terhadap kebenaran jika sampai direndahkan oelh manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raaf {7}:33).

43. Tidak berlebih-lebihan

Laki-laki yang shalih menempuh jalan yang seimbang (tengah-tengah), yaitu antara berlebihan dan mengabaikan, antara kelewat batas dan kurang, serta antara ekstrim dan ‘menyepelekan’.

Jalan tengah adalah jalan lurus yang ditempuh olehnya. Jalan ini tidak akan memalingkan orang yang menempuhnya, menuju satu sisi dengan mengalahkan sisi yang lain, sehingga tidak seimbang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan {25}:67).

44. Menjaga kemuliaan diri

Orang yang shalih selalu menjaga kemuliaannya, karena kemuliaan manusia itu sangatlah mahal. Di samping itu, ia juga menghormati kemuliaan orang lain. Kemudian adalah perasaan seseorang mengenai eksistensi dirinya sebagai makhluk yang mulia, di samping (juga) memuliakan orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ {17}:70).

45. Tidak mengganggu orang lain

Seorang muslim hendaknya benar-benar mewaspadai tindakannya sendiri dari perbuatan yang sekiranya dapat mengganggu orang lain. Termasuk di dalamnya adalah tindakan yang dapat mengganggu kenyamanan masyarakat umum.

Salah satu kebiasaan yang tidak baik, yang masih sering dijumpai adalah duduk-duduk di jalan tanpa ada tujuan yang bermanfaat. Perbuatan tersebut sudah dilarang sejak Rasulullah ada, karena membuat orang yang ingin lewat menjadi tidak nyaman.

Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah duduk-duduk di jalanan!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami tidak punya tempat duduk lainnya yang kami pakai untuk bercakap-cakap.” Beliau saw kemudian bersabda, “Jika kalian tidak mau, maka berikan hak kepada jalan!” Mereka bertanya, “Apakah hak jalan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menundukan pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam, serta memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran.”

46. Selalu tenang dalam bertindak

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian, Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah {9}:20).

Keterangan diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Ketenangan muncul dari ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt, serta keyakinan akan kekuasaan, perlindungan dan pertolongan-Nya. Semua itu akan tercermin dari ketenangan dalam berpikir, berbicara, memutuskan sesuatu, dan dalam bertindak.

47. Pemberani

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Rabb-nya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran {3}:169-170).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Aufa bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berangkat (jihad) pagi-pagi atau petang hari di jalan Allah adalah lebih baik dari dunia dan seisinya.”

48. Giat bekerja dan mandiri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah {9}:105).

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk giat bekerja, dan menjadi mandiri. Diharapkan dengan usahanya tersebut, seorang muslim akan bermanfaat bagi masyarakat, bukan menjadi beban.

Dalam hadits muttafaq ‘alaih disebutkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mau mencari seikat kayu bakar lalu dibawa di atas punggungnya (untuk dijual), maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, entah yang diminta itu mau memberi atau tidak.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’dikarib, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu menyantap makanan yang lebih baik daripada makan hasil kerja sendiri! Dan sesungguhnya, Nabi Dawud makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”

49. Jujur

Kejujuran merupakan cerminan dari kemuliaan akhlak seseorang. Di antara bukti kejujuran itu adalah jika setiap ucapan dan amal yang dikerjakan, hanyalah karena Allah dengan meninggalkan sikap pamer dan ingin mendapatkan balasan dari sesama makhluk. Kejujuran seperti itulah yang membuat seseorang berbuat konsisten dalam perbuatannya, baik saat di depan orang lain maupun saat sendiri.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian harus bersikap jujur, karean kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan itu membawa kepada surga. Seseorang masih terus bersikap jujur dan melatih kejujuran sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai shiddiq. Jauhilah kebohongan, karena kebohongan itu membawa kepada tindakan dosa, sedangkan dosa itu membawa kepada neraka. Seorang hamba masih saja berbuat kebohongan dan terbiasa melakukan kebohongan, sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.”

50. Bersikap adil

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl {16}:90).

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk bersikap adil dalam segala hal. Adil di antaranya memiliki pengertian tidak berat sebelah (mengambil pertengahan) serta obyektif dalam memandang permasalahan, sebagaimana firman-Nya : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil (pertengahan).” (QS. Al-Baqarah {2}:143).

51. Memiliki sifat perkasa

Seorang mukmin harus memiliki sifat perkasa, di antaranya dalam menjaga kemuliaan diri, keluarga, saudara dan dienulnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kekuatan (keperkasaan) itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munaafiquun {63}:8).

52. Memiliki tekad yang kuat

Tekad yang dimulai dari adanya niat, kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai sesuatu. Seorang muslim yang shalih harus memiliki tekad untuk melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidupnya, demi meraih kebahagiaan di akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perkataan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang ditekadkan.” (QS. Asy-Syura’ {42}:43).

53. Menundukkan (memalingkan) pandangan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan.” (QS. An-Nuur {24}:30).

Betapa banyak orang Islam yang terjerumus ke dalam perbuatan maksiat dan perzinaan yang bermula dari pandangan mata. Karena itu, setiap orang yang beriman diperintahkan untuk menundukkan pandangannya dan tidak melepaskannya untuk menuruti hawa nafsu.

Hikmah dari menundukkan pandangan di antaranya adalah terjaganya kesucian hati dan menghindarkan kita dari perbuatan yang tercela dan keji. Ali bin Abi Thalib berkata, “Barangsiapa belum mampu menguasai (pandangan) matanya, maka hati pun tidak ada nilai baginya.”

Imam Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Jaris, bahwa dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai melihat (wanita lain) secara tiba-tiba, lalu beliau menjawab, “Palingkan pandanganmu!”

54. Qana’ah

Qana’ah adalah rela menerima apa adanya dan menjauhkan diri terhadap rasa tidak puas atau tidak ridha akan apa yang diberikan oelh Allah swt. Namun qana’ah bukan berarti pasrah dan malas untuk berusaha dalam hidup ini, melainkan tetap berusaha sekuat tenaga dan tidak kecewa apabila usaha kita belum berhasil, atau jika doa kita belum dikabulkan oleh Allah ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesunnguhnya orang-orang yang banyak berbakti, benar-benar berada dalam kenikmatan.” (QS. Al-Infithar (82}:13).

Para musafir mengatakan, “Yang dimaksud adalah sifat qana’ah di dunia.”

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kekayaan itu bukanlah banyaknya perbendaharaan, akan tetapi (hakikat) kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.”

55. Memiliki kekuatan

Islam adalah dienul kekuatan yang tidak bisa ditindas. Maka, hamba yang shalih haruslah seorang yang kuat imannya, kuat akhlaknya, kuat ilmunya; kuat amal dan jihadnya, serta kuat pendapat dan kata-katanya (komunikasi).

Untuk meraih kekuatan ini dibutuhkan pertolongan dari Allah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya Rabb-mu adalah Dzat Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS. Hud {11}:66).

56. Menyembunyikan amal kebaikan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan …” (QS. Ibrahim {14}:31).

57. Pemurah dan dermawan

Hamba yang shalih haruslah seorang yang dermawan dengan apa yang dimilikinya, sehingga ia rela memberikan harta atau nasihat, atau ilmu, atau hal lainnya yang bermanfaat bagi saudara-saudarinya sesama muslim. Segala hal yang di dermakannya itu harus dengan cara ikhlas karena Allah, di samping kondisi dirinya yang leluasa, karena Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kadar kesanggupannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah {2}:254).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan (bersikap pemurah) kepada tamunya.”

Sikap dermawan yang paling baik adalah orang yang mendermakan hartanya, dan bisa menjaga diri dari menerima harta dari orang lain. Tidak ada kebaikannya bagi harta, kecuali jika diiringi oleh sifat kedermawanan.

58. Memiliki sifat ksatria

Sifat ksatria adalah hiasan jiwa. Di antara bentuk sifat ksatria seseorang, adalah menahan diri dari hal-hal yang haram, menjauhi dosa, adil dalam menjatuhkan hukum, tidak berbuat zhalim, tidak tamak terhadap apa yang tidak menjadi haknya, dan tidak membantu orang yang kuat dalam menghadapi orang yang lemah.

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Waqqash, bahwa dia berkata, “Seseorang datang kepada Nabi saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah wasiat kepadaku!” Beliau saw kemudian bersabda, “Jangan berharap terhadap apa yang ada di tangan orang lain dan jauhilah sifat tamak, karena ia merupakan kemiskinan yang datang. Kerjakanlah shalat seakan engkau akan berpisah (dari dunia ini). Hindarilah sesuatu yang menyebabkanmu harus meminta maaf sesudah engkau melakukannya.”

59. Selalu memeberi nasihat

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat {49}:10).

Imam Muslim meriwayatkan dari Tamim bin Aus Ad-Dari ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dienul adalah nasihat.”—hingga tiga kali—kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk (menaati) Allah, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin serta seluruh kaum mukminim pada umumnya.”

Nasihat adalah keinginan atau kehendak untuk mengekalkan nikmat Allah, atau saudara muslim yang di dalamnya terdapat kebaikan. Seorang hamba yang shalih tentu berusaha untuk selalu memberi nasihat dan tidak pernah bakhil untuk memberikannya, baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan.

Alla subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim {14}:24).

60. Tidak berlebih-lebihan dan memamerkan harta

Maksud dari berlebihan adalah melampaui batas dalam hal perkataan maupun perbuatan. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mohonlah pertolongan kepada Allah untuk memenuhi segala kebutuhan dengan cara menyembunyikannya, karena setiap orang yang mendapatkan nikmat itu pasti di-iri oleh orang lain.”

Dalam hadits muttafaq ‘alaih disebutkan riwayat dari Abi Wail Syaqiq bin Abi Salamah, bahwa dia berkata, “Adakah Ibnu Mas’ud biasa mengingatkan kami pada hari kamis, lalu seseorang berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdirrahman, aku sebenarnya ingin agar engkau mengingatkan kami setiap hari.’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Sebenarnya yang mencegahku dari melakukan hal seperti itu (memberi nasihat setiap hari) adalah karena aku tidak ingin membuat kalian jemu. Dan sesungguhnya aku memberikan nasihat kepada kalian seperti halnya Rasulullah saw memberikan nasihat kepada kami karena Beliau khawatir jika kami jemu.”

Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Celakalah orang-orang yang berlebihan (memaksa-maksakan diri). Beliau mengucapkannya hingga tiga kali.”

61. Selalu memenuhi janji

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ {17}:34).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga; Jika berbicara, dia berdusta; Jika berjanji, dia mengingkari; Dan jika dipercaya, dia khianat.” Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Sekali pun dia mengerjakan shalat dan zakat, serta mengaku sebagai muslim.”

Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Abasah, bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mempunyai ikatan janji dengan suatu kaum maka janganlah dia melepaskan janji itu dan jangan pula menguatkannya, sampai selesai masanya atau jika kedua belah pihak sama-sama bersepakat membatalkannya.”

Subhanallah, demikianlah duhai Ikhwaanii wa Akhwaatii rahimakumullah yang kami cintai karena Allah, 61 Prinsip Pribadi Mukmin yang telah Abi adlibs-kan dari kitab “Laa Tansa Yaa Muslimin” karya al-Mukarom Muhammad Khalis Mu’tashim rahimakallah. insyaAllah barokah dan manfaat, Allahumma amiin…

sumber: Abi Dive Berbagi Ilmu Komunikasi

2 responses to this post.

  1. Posted by aqta on April 21, 2010 at 3:20 pm

    knpa sih cari hasil UNAS SMA NEGERI 1 Muncar tahun 2010 slit BGT. ko’ rbet BGT

    Reply

    • Posted by sman1muncar on April 23, 2010 at 2:45 am

      ya tanggal 21 april memang belum ada hasil UN 2010
      minimum sman1muncar dapat hasil dari pusat itu tanggal 26 april 2010
      jadi, paling cepat akan dipampang sesaat setelah itu

      Reply

Leave a comment